I. ZAMAN PERMULAAN
Menurut catatan dalam tulisan Lontar yang bersumber dari kitab Jatiswara
bahwa sepasang suami istri bernama Lebe Belek dan istrinya Nasi’ Belek
adalah manusia pertama yang menghuni Desa Belek (Sembalun sekarang).
Mereka berlindung dibalik Gunung Belek Samalas (Gunung Rinjani) dari
sergapan “Belabur Es” yang terjadi sekitar tahun 600 M.
Setelah beberapa lama menetap dibalik Gunung Beleq, sepasang suami istri
itu turun gunung mencari tempat tinggal yang lebih aman. Mereka
berjalan menembus hutan belantara, hingga sampailah mereka disebuah
tempat yang dirasa cukup aman untuk dijadikan tempat tinggal. Mereka
membangung gubug sederhana dari pohon bambu dan batang-batang ilalang
yang banyak tumbuh ditempat itu. Tempat itu berada disekitar Lendang
Luar sekarang di dise Sembalun Lawang. Tempat itu juga dipilih karena
tempat itulah satu-satunya lokasi yang memiliki pohon Kentalu, yang
menjadi pertanda kehidupan yang baik dimasa itu. Sedangkan ditempat lain
masih dipenuhi dengan rawa-rawa yang tidak dapat ditempati dengan
nyaman. Setelah beberapa masa Lebe Beleq dan istrinya Nasi’ Beleq
memperoleh keturunan yang beranak pinak dimana dalam catatan para tetua
menyatakan bahwa mereka berkembang semula dalam tujuh pasang suami istri
yang menjadi cikal bakal berkembangnya penduduk Sembalun. Ketujuh
mereka itu adalah:
1. Demung Riang Gaib Tunggal
2. Demung Riang Gaib Gading
3. Demung Riang Gaib Sendang Mas
4. Demung Riang Gaib Roro Jonggrat
5. Demung Riang Gaib Berirak
6. Demung Riang Gaib Ratana
7. Demung Riang Gaib Dinasti Bagia
Setelah terjadinya perkembangan penduduk dari ketujuh anak Lebe Beleq
dan istrinya Nasi’ Belek tadi, mereka lalu membangun sebuah perkampungan
yang diberi nama Desa Belek dan Suranala.
Mesikpun saat itu masyarakat masih menganut Animisme akan tetapi mereka
sudah mulai mengatur tata kehidupan dengan struktur yang lebih baik.
Dari catatan para tetua berdasarkan catatan dalam piagam peninggalan
leluhur yang terbakar tahun 1971, disebutkan bahwa Desa Suranala
merupakan pusat pemukiman berskala besar pertama yang bisa dikategorikan
sebagai sebuah desa yang memiliki pemimpin secara adat.
II. ZAMAN BUDHA
Pada sekitar Tahun 700 M datanglah seorang penyebar agama Budha dari
Palembang yang bernama Buda Kortala. Pada saat itu di Palembang
merupakan pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya sekaligus sebagai pusat
pendidikan dan pengembangan agama Budha. Kedatangan Budha Korlaka ini
berkaitan dengan kebijakan Kerajaan Sriwijaya pada saat itu menaklukkan
bumi jawa yang tidak berbakti ke Sriwijaya dan wilayah-wilayah disebelah
timurnya seperti yang dikutip dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan
didekat “sungai menduk” di Pulau Bangka bagian barat yang angka tahunnya
686 M. Selain menyebarkan agama, Budha Kortala juga memberikan berbagai
pengetahuan tentang kehidupan di dunia seperti tata cara bercocok
tanam, cara berpakaian tata kerama, serta berbagai cara membuat senjata
dan membela diri. Budha Kortala juga membawa bibit padi berupa segenggam
pagi bulu merah yang akan ditanam pada lahan pertanian masyarakat.
Sejak saat itu penduduk Desa Beleq memiliki kehidupan yang lebih baik,
apalagi dengan tanah Desa beleq yang subur dapat tumbuh berbagai macam
tanaman. Hasil panen padi dan tanaman palawija melimpah, seiring dengan
kehidupan beragama yang baik menjadikan masyarakat Desa Beleq tata
tentram gemahripah loh jinawi. Sepeninggal Budha Kortala, kepemimpinan
Suranala dilanjutkan oleh Budha Bukit Bartua (Th 795 – Th 870) dan
Budha Bukit Bao (Th 870 – Th 900 M). Dari penelusuran pada beberapa
catatan diketahui bahwa kehidupan masyarakat menganut agama Budha ini
berlangsung ini berlangsung sampai dengan datangnya para penyebar agama
Hindu dari Majapahit yakni sekitar tahun 1360 s/d 1546 M dimasa
pemerintahan Prabu Hayam Wuruk di Majapahit.
III. ZAMAN HINDU
Pada sekitar tahun 1360, seiring dengan program penyatuan Nusantara yang
dikobarkan oleh Kerjaan Majapahit dimasa pemerintahan Raja Hayam Wuruk
dan Maha Patih Gajah Mada, di Desa Beleq dan Suranala datanglah pasukan
perang Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Raden Kertanegara yang
beragama Hindu.
Akibatnya terjadilah pertempuran yang sengit antara orang-orang Desa
Beleq yang beragama Budha melawan prajurit Majapahit yang beragama
Hindu. Setelah pertempuran berlangsung cukup lama. Prajurit-prajurit
Majapahit dapat memenangkan peperangan itu. Karena kekalahannya,
pemimpin Desa Beleq dan Suranala melarikan diri ke gunung-gunung
terdekat untuk berlindung. Diantaranya Demung Batua melarikan diri ke
Gunung Batua dan Demung Bukit Bao melarikan diri ke Bukit Bao. Sekarang
makam kedua tokoh tersebut masih dapat ditemukan masing-masing di Gunung
Batua dan Bukit Bao, masyarakat sekitar biasa menyebutnya makam Budha.
Sedangkan para prajurit Majapahit yang gugur dalam peperangan itu
dikuburkan di sekitar lokasi pertempuran yakni di Desa Sembalun Lawang
sekarang dalam bentuk kuburan Hindu (Makom Majapahit).
Sejak kemenangan prajurit Majapahit itu banyak sekali perubahan
dilakukan ditengah masyarakat. Tidak hanya berubah dari memeluk agama
Budha ke Hindu, tetapi juga struktur kemasyarakatan mulai berubah
terutama pada tatanan tradisi dan adat istiadat. Pada saat itu penguasa
baru yang dipimpin oleh Raden Kertanegara membentuk desa baru yang
diberi nama Bawak Dewa. Para tokoh yang datang dari jawa tersebut juga
membagi tugas dalam pemerintahan. Para tokoh itu antara lain: Raden Saib
Amsah sebagai petinggi agama, Raden Kertanegara sebagai Perbekel, dan
tugas-tugas lain kepada Raden Ariapati, Raden Aria Mangunjaya, Raden
Ketib Muda, Raden Aria Penangsang, dan Raden Patra Guru. Masing-masing
mereka memiliki tugas tersendiri seperti menjadi Perbekel, Pemangku
Adat, dan Krama Desa.
Desa baru ini lama-kelamaan menjadi desa yang besar, penduduknya
bertambah dan aktifitas ekonomi melalui pertanian juga semakin baik.
Desa ini selanjutnya dipimpin oleh keturunan dari Raden Kertanegara
antara lain: Nek Sumenep (Th.1360 – Th.1478), Nek Sande (Th. 1478 –
Th.1480), dan Nek Sukir (Th.1480 – Th.1546). Para pemimpin dari jawa ini
banyak sekali mengajarkan teknik-teknik bercocok tanam kepada
masyarakat Bawak Dewa. Hasil pertanian selain padi dan palawija juga
banyak hasil-hasil hutan dan perkebunan sperti kayu, madu dan
rempah-rempah yang dapat ditukar dengan barang-barang lain kepada
pedagang yang datang ketempat itu.
IV. MASUKNYA AGAMA ISLAM
Pada tahun 1546 datanglah ke Desa Bawak Dewa para penyebar agama Islam
yang mereka itu adalah bagian dari misi penyebaran agama yang dilakukan
oleh Wali Songo dari Jawa. Menurut catatan sejarah yang datang membawa
Islam ke Lombok adalah Sunan Prapen yakni putra dari Sunan Giri. Akan
tetapi yang di di Sembalun adalah seorang dari anggota rombongan Sunan
Prapen yang setelah di Sembalun bernama Titik Islamin. Pada saat itu
yang menjadi Perbekel di Bawak Dewa adalah Nek Sukir. Tetapi yang
menerima Islam pertama di Bawak Dewa adalah Titik Sumenep selaku pemuka
agama. Karena adanya ajaran Islam, maka desa yang semula bernama Bawak
Dewa karena namanya berbau Hindu berubah menjadi Desa Sembahulun yang
artinya menyembah kepada pencipta Alam yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Mula-mula Islam masuk melalui pendekatan adat istiadat Hindu artinya
bahwa memasukkan kayakinan Islam pada masyarakat yang beragama Hindu
dengan cara menyesuaikan dengan tradisi Hindu. Pendekatan ini rupanya
dapat dengan mudah diterima. Karena penyiaran agama Islam dilakukan
dengan tidak menyinggung adat istiadat tetapi tetap menggunakan adat
istiadat sebagai alat penyebaran agama Islam. Akan tetapi karena
banyaknya tradisi upacara Hindu yang tetap terpakai meskipun telah
memeluk agama Islam sehingga aliran ini disebut Waktu Telu.
Pada sekitar tahun 1617 saat kedatangan Anak Agung dar Gelgel dengan
patihnya bernama Briang Wangsa, menyerang Lombok (anak agung pertama).
Tokoh Agama Raden Sumenep bersama Perbekel Nek Sukir dan Nek Sande
ditangkap dan dibawa ke Karang Asem dan Klungkung (sekarang makamnya di
Narmada). Selanjutnya pemerintahan Sembalun dipegang oleh Titik
Jinayang. Pada saat itu Titik Jinayang membagi Sembalun menjadi dua
yakni Sembalun Lawang dan Sembalun Bumbung. Kemudian pusat
pemerintahannya dipindahkan ke Sembalun Bumbung yang membawahi Sembalun
Bumbung, Sembalun Lawang, Sajang, Obel-obel, dan Belanting. Jadi Titik
Jinayanglah yang pertama membangun Sembalun Bumbung. Perbekel
selanjutnya yang memerintah di Sembalun adalah Perbekel Titik Andipa
(Th.1618 – Th.1689), Perbekel Titik Budar (Th.1689 – Th.1738) yang
membagi wilayah Sembalun Bumbung dan Sembalun Lawang. Kemudian
berturut-turut memerintahkan Perbekel Balok Darmaji (Th.1738 – Th.1830),
Perbekel Balok Melaka (Th.1830 – Th.1843) dan terakhir Perbekel Balo
Darmasih yang berkuasa bersamaan dengan Congah Praya Tahun 1843 sampai
dengan Tahun 1863 M.
Setelah masa Perbekel ini selanjutnya Pimpinan Desa disebut Kepala Desa:
Kepala Desa yang pertama adalah Papuk Sumenep Tahun (1863 – 1880), Pe
Sairah (1880 – 1901), Pe Darwati (1901 – 1916), Pe Darwisah (1916 –
1920), Pe Darmanep (1920 – 1950), dan pergantian seterusnya sampai
saat
ini.
V. PEMURNIAN AJARAN ISLAM
Pada tahun 1936 pada masa kepala desa Pe Darmanep, datanglah Tuan Guru
Haji Muhammad Saleh alias Tuan Guru Lopan untuk memperbaiki akidah
masyarakat Sembalun agar sesuai dengan ajaran agama
Islam yang sesungguhnya . Tuan Guru Lopan tidak berhasil memperbaiki agama
masyarakat sembalun seluruhnya. Demikian pula selanjutnya datang di
Sembalun Tuan Guru Mutawalli dari Jerowaru untuk maksud yang sama, akan
tetapi keyakinan dan tradisi waktu telu di Sembalun masih tetap
berlangsung. Barulah pada sekitar tahun 1960 dengan kedatangan seorang
tuan guru keturunan wali songo yakni Sunan Ampel dari Jawa Timur bernama
Tuan Guru Muhammad Mustofa yang biasa dipanggil Pak Aji bersama adiknya
Muhammad Toha datang ke Sembalun untuk mengajarkan Akidah Islam yang
sesungguhnya. Pada saat itu masyarakat Sembalun dapat beribadah menurut
Akidah Agama Islam yang sesungguhnya sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW.
Sumber: Kertayang atau Pe Mardisah
(Ketua Lembaga Adat Gumi Sembahulun)